Jakarta sarat makna. Terkadang saat aku berjalan di pinggiran kota, hempasan
angin seakan memainkan potongan-potongan cerita di masa lalu. Kabarnya Jakarta
adalah episentrum dari sejarah yang kini tersaji dalam berbagai macam karya
audio, literasi, dan visual. Aku senang mendengarnya dan akan lebih bahagia
jika aku bisa merasakan atmosfirnya secara langsung. Terkadang aku berkhayal
dapat berkunjung dan bertemu Mr. Time di kerajaannya untuk
menjelajah masa lalu seperti Alice
in Wonderland. Bedanya aku tidak ingin mengubah suatu kejadian apapun,
hanya melihat-lihat dan menikmati kehidupan Jakarta di masa lalu.
Bangunan-bangunan Belanda yang berdiri megah di Kota Tua menjadi
saksi nyata dari sepotong kisah yang pernah ada di Batavia. Lantunan lagu
Firasat karya Dee Lestari yang kudengar saat itu menambah melankolis suasana.
Aku memesan secangkir kopi hangat di sebuah kedai seni hanya untuk menikmati
langit senja di Batavia dan melihat orang-orang yang berlalu lalang menuju
lapangan Fatahillah. Tempat ini adalah tempat yang paling cocok untuk
bernostalgia di Jakarta. Bangunan-bangunan tua, museum, dan berbagai macam
dagangan tradisional yang terjaja di pinggir jalan menambah kental nilai-nilai
historis di kota ini. Atraksi seniman pinggir jalan dengan pakaian eksentrik
dan cat diseluruh tubuh juga menambah balutan estetika di tengah hiruk-pikuk
kota yang selalu sibuk itu.
Jakarta. Batinku. Aku suka kota ini.
Meski panasnya seringkali membuatku menggerutu, aku tetap suka kota ini. Jakarta
menaruh banyak cerita. Jakarta menoreh banyak cerita. Jakarta punya alur
kontras yang bervariasi dan menyimpan banyak makna di banyak jiwa. Jakarta
sarat makna.
"Have you done?" Tanya
seseorang yang menemaniku dalam hening sedari tadi. Aku sontak tersadar dari
narasi yang terbentuk sendiri dipikiranku.
"Suntikan emosi?" Ucapnya
lagi.
Aku tertawa mendengarnya menyebut frasa itu. "Well… not really, but
surely you just interrupted me from being immersed into “suntikan emosi.””
Kini giliran dia yang tertawa, "Hey, kau tidak bisa
mengabaikanku seperti ini. Aku juga butuh perhatianmu, tahu!" Protesnya
terhadapku. Wajahnya sangat menggemaskan saat dia berkata seperti itu. Padahal
umurnya sudah nyaris beranjak seperempat dari seabad.
Aku menyeruput kopiku.
"Alright Capt, what do you want?"
Dia menyeruput kopinya.
"I want you."
Ada jeda di sana - yang membuat kalimatnya terdengar romantis.
Apalagi dengan tatapan tajamnya yang seakan menghujam jantungku dan seketika
membuatku bisu. Tapi, semua kesan itu runtuh saat ia melanjutkan kalimatnya
dengan: "I
want you to talk to me now, tapi please jangan
sampe baweeel." Ucapnya sambil menjepit kedua hidungku.
Aku berusaha melepaskan tangannya dari hidungku sambil berkata, "I
hate you to the moon and baaaaaacckk"
"I hate you too. To the moon and the Saturnus, to the black
hole and never going back."
"Kejam."
Hidungku menjadi merah.
"Sekali." Sahutnya melanjutkan kataku sambil melepaskan
jepitan tangannya di hidungku.
"Kau. Kejam sekali." Tekanku. Dramatis.
Dan dia hanya tersenyum kecil.
***
Kala itu, dibawah naungan langit senja kami digelitik dengan
hembusan angin yang datang dengan lembut. Membuat kami ingin berlama-lama
sambil bertukar banyak cerita. Tentang hari-hari lalu, tentang emosi-emosi,
juga inspirasi-inspirasi.
Satu cangkir Vanilla Espresso lainnya.
Sementara itu, kami bergurau tentang diri kami sendiri. Melayang tinggi
berbicara soal mimpi. Dan menambah daftar kenangan untuk kota yang penuh dengan
makna ini.
"You seem to love this city a bunch, uh?"
"A bunch combined with lots."
"Apa yang paling kamu suka dari Jakarta?"
"Jakarta." Ucapku menggantung dan pandanganku pun
menerawang.
"Jakarta menaruh banyak cerita. Jakarta menoreh banyak
cerita. Jakarta punya alur kontras yang bervariasi dan menyimpan banyak makna
di banyak jiwa. Jakarta sarat makna."
"Suntikan emosi?" Tanyanya sambil tersenyum.
Dirinya sudah pasti tahu, jawabanku adalah sepenggal dari ritual
suntikan emosi yang kugarap dari observasiku terhadap dunia sekitar.
"Ya, hasil dari suntikan emosi."
"Aku sudah tahu." Ucapnya.
Dan kami menyeruput kopi kami sampai habis.
***
Suatu hari nanti. Angin akan menyapa saat semua telah menjadi
pecahan memori. Semesta akan menampilkan potongan-potongan kisah yang kita
lalui hari ini. Karena aku dan kamu telah menuliskan secoreh makna di sini. Di
kota ini – kota
sarat makna.
.
.
.
Jakarta.
-LR